Tidak harus dihitung seberapa banyak kita telah memberi
pertolongan, bantuan yang kita berikan. Tapi bagaimana cara kita
membagi, memberi bisa mempengaruhi keadaan kondisi lingkungan. Ada
sebagian orang memberi karena punya harapan agar mendapat dukungan, agar
mendapat simpatisan, agar mendapat kehormatan, baik dengan cara
srampangan maupun sedikit elegan yang dikemas dengan sedemikian rupa
agar si pemberi dikenal atau diketahuinya. Tapi ada juga yang berharap
kembali dengan doa. Saya rasa sah sah aja yang tidak layak tidak memberi
tapi komentar yang bisa menyakitkan bagi yang mendengarkan. Tapi patut
kita contoh di salah satu kafe atau warung sebelah ini....
Secangkir kopi inspiratif ....
KOPI di DINDING Venesia, Italia
Sepasang wisatawan asyik menikmati kopi di sebuah kafe
terkenal di Venesia, Italia. Tak lama kemudian, datanglah seorang pria
paruh baya, duduk di salah satu meja kosong. Ia memanggil pramusaji dan
memesan, “Kopi 2 cangkir.. yang 1 untuk di dinding”.
Wisatawan merasa heran mendengar kalimat tersebut. Apalagi
sang pria kemudian hanya disuguhi 1 cangkir kopi, namun ia membayar untuk 2
cangkir. Segera setelah pria tersebut pergi, si pramusaji menempelkan
selembar kertas kecil bertuliskan "Segelas Kopi" di dinding kafe.
Suasana kafe kembali hening. Tak lama kemudian masuklah dua
orang pria. Kedua pria tersebut pesan 3 cangkir kopi. Dua cangkir di
meja, satu lagi untuk di dinding. Mereka membayar tiga cangkir kopi
sebelum pergi. Lagi-lagi setelah itu pramusaji melakukan hal yang sama,
menempelkan kertas bertulis "Segelas Kopi" di dinding.
Pemandangan aneh di kafe sore itu membuat wisatawan heran.
Mereka meninggalkan kafe dengan menyimpan pertanyaan atas kejadian ganjil yang
disaksikannya, namun tidak sempat mengajukan pertanyaan, apa maksud
kopi di dinding.
Minggu berikutnya, mereka mampir kembali di kafe yang sama.
Mereka melihat, seorang lelaki tua masuk ke dalam kafe. Pakaiannya kumal
dan kotor. Setelah duduk ia melihat ke dinding dan berkata kepada
pelayan, “Satu cangkir kopi dari dinding".
Pramusaji segera menyuguhkan segelas kopi. Setelah
menghabiskan kopinya, lelaki lusuh tadi lantas pergi tanpa membayar.
Tampak si pramusaji menarik satu lembar kertas dari dinding tersebut
lalu membuangnya ke tempat sampah.
Pertanyaan wisatawan itu terjawab sudah. Begini rupanya
cara penduduk kota ini menolong sesamanya yang kurang beruntung dengan
tetap menaruh respek kepada orang yang ditolongnya.
Kaum papa bisa menikmati secangkir kopi tanpa perlu
merendahkan harga diri untuk mengemis secangkir kopi. Bahkan mereka pun
tidak perlu tahu siapa yang “mentraktirnya”. Suatu tatanan hidup
bermasyarakat yang amat menyentuh, dan mengharukan.
Kita tidak bisa hidup lebih baik tanpa memberi dan menerima
cinta, perhatian, dan bantuan dari orang lain. Secangkir kopi di
dinding adalah wujud cinta yang ikhlas kepada kaum papa, tanpa menyikapi
kaum papa dengan cara arogan, "aku memberi kepadamu".
Tidak penting seberapa banyak kita sudah memberi. Lebih penting adalah bagaimana kita memberi.
Semangat berbagi dan menginspirasi...
Semoga kita bisa memetik hikmah disetiap cerita kehidupan ini untuk memperbaiki diri ke arah yang lebih baik.
Semoga kita bisa memetik hikmah disetiap cerita kehidupan ini untuk memperbaiki diri ke arah yang lebih baik.
0 komentar:
Posting Komentar